Institusi keuangan di Asia menghadapi gelombang serangan siber yang semakin canggih dan terkoordinasi, menjadikannya salah satu ancaman terbesar bagi stabilitas finansial kawasan. Skala digitalisasi yang masif, mulai dari layanan perbankan seluler hingga sistem pembayaran real-time, telah memperluas permukaan serangan bagi peretas. Target utama termasuk kebocoran data nasabah, gangguan layanan perbankan, dan pencurian dana melalui manipulasi transaksi.
Ancaman ini tidak hanya datang dari kelompok kejahatan siber terorganisir, tetapi juga dari aktor negara yang didukung oleh pemerintah. Serangan ransomware yang menargetkan bank dan bursa saham telah meningkat, memaksa institusi untuk mengalokasikan sumber daya besar untuk pertahanan siber. Kerugian yang ditimbulkan tidak hanya finansial, tetapi juga berupa hilangnya kepercayaan publik terhadap sistem perbankan digital.
Untuk menghadapi tantangan ini, bank sentral dan regulator di seluruh Asia telah meningkatkan persyaratan keamanan siber, mendorong kolaborasi antara sektor publik dan swasta. Inisiatif berbagi informasi ancaman siber (threat intelligence sharing) menjadi kunci untuk mengidentifikasi dan merespons serangan secara cepat. Pelatihan karyawan dan investasi dalam teknologi keamanan berbasis AI juga menjadi prioritas.
Meskipun investasi pertahanan siber terus bertambah, kesenjangan keterampilan dan ketergantungan pada sistem lama (legacy systems) masih menjadi kelemahan struktural. Institusi keuangan Asia harus terus beradaptasi dan membangun ketahanan siber sebagai bagian fundamental dari strategi operasional mereka, bukan hanya sebagai tambahan.
Institusi keuangan Asia menghadapi peningkatan ancaman siber canggih, didorong oleh digitalisasi masif dan serangan ransomware, yang direspons dengan peningkatan regulasi, kolaborasi antar lembaga, dan investasi teknologi AI untuk pertahanan siber.

