Selama ini, istilah pengungsi identik dengan perang bersenjata. Namun, dunia kini menghadapi fenomena baru: pengungsi perang siber. Serangan digital terhadap infrastruktur vital bisa membuat jutaan orang kehilangan akses dasar.
Bayangkan sebuah kota lumpuh karena listrik padam akibat serangan hacker. Rumah sakit berhenti beroperasi, sistem air bersih mati, dan layanan transportasi terhenti. Warga terpaksa meninggalkan tempat tinggalnya.
Serangan siber lintas negara semakin sering terjadi. Beberapa di antaranya bahkan menargetkan jaringan energi dan komunikasi, menimbulkan kekacauan besar.
Negara-negara maju mulai memasukkan keamanan siber sebagai bagian dari pertahanan nasional. NATO, misalnya, sudah menyatakan serangan siber besar bisa diperlakukan sebagai serangan militer.
Namun, negara berkembang lebih rentan. Minimnya infrastruktur digital membuat mereka lebih mudah diserang dan sulit pulih setelahnya.
Fenomena ini menimbulkan dilema baru dalam hukum internasional. Apakah korban serangan siber bisa disebut sebagai pengungsi yang berhak mendapat perlindungan?
Kesimpulannya, perang siber berpotensi menciptakan gelombang pengungsi baru. Dunia harus siap menghadapi ancaman digital yang dampaknya sama dahsyat dengan perang fisik.

