Asia, dengan kota-kota berpopulasi padat dan tingkat polusi yang tinggi, berada di garis depan transisi menuju taksi dan layanan ride-sharing berbasis Electric Vehicle (EV). Skema ini bukan hanya didorong oleh mandat pemerintah untuk mengurangi emisi, tetapi juga oleh keunggulan operasional EV yang menawarkan biaya bahan bakar dan perawatan yang jauh lebih rendah dibandingkan mobil bensin.
Perusahaan-perusahaan ride-sharing besar di Asia telah membuat komitmen ambisius untuk mengalihkan armada mereka ke kendaraan listrik. Mereka melihat EV sebagai cara untuk mengurangi Total Cost of Ownership (TCO) dalam jangka panjang, meskipun biaya akuisisi awal kendaraan masih tinggi. Pemerintah memberikan insentif pajak dan subsidi untuk mempercepat adopsi ini, terutama di armada publik.
Tantangan utama yang dihadapi adalah pembangunan infrastruktur pengisian daya yang memadai. Untuk armada taksi yang beroperasi hampir 24 jam sehari, ketersediaan stasiun pengisian cepat dan sistem pertukaran baterai (battery swapping) sangat krusial. Investasi besar sedang dilakukan di Tiongkok, India, dan Asia Tenggara untuk membangun jaringan pengisian daya yang padat dan andal.
Masa depan mobilitas perkotaan di Asia akan sangat ditentukan oleh kecepatan adopsi EV dalam sektor taksi dan ride-sharing. Keberhasilan ini tidak hanya akan membersihkan udara di kota-kota besar tetapi juga menciptakan model bisnis baru dan peluang bagi produsen EV lokal, yang berfokus pada kendaraan fleet yang tangguh dan efisien.

